Demokrasi Dalam Islam


Demokrasi Dalam Islam
Oleh : Sugeng Sutrisno


Pendahuluan

Di dalam islam seIstilah demokrasi bukanlah berasal dari bahasa Arab, juga bukan istilah dalam syari’ah. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti orang - orang dan cracy yang berarti keputusan atau legislasi.jadi secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai aturan orang – orang atau rakyat.
Biasanya slogan dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sumber mereka dalam legislasi (Hakimiyyah) adalah manusia (insane).
Pemerintahan dari rakyat maksudnya kekuatan legislasi adalah dari orang – orang (anggota parlemen). Oleh rakyat berarti berhukum dengan apa yang mereka (anggota parlemen) tetapkan. Dan untuk rakyat dimaksudkan para anggota parlemen mengatur masyarakat dengan apa yang telah mereka tetapkan.
Demokrasi memiliki ciri sebagai berikut:
1. Pemerintahan oleh rakyat yang dijalankan secara langsung atau dengan mengangkat wakil-wakilnya.
2. Kumpulan orang-orang, yang berpikir sebagai sumber utama dari kekuatan politik.
3. Aturan mayoritas.
Di dalam islam istilah demokrasi tidak pernah dijumpai baik di masa Rasulullah SAW maupun di masa sahabat. Namun ada yang mirip seperti demokrasi yaitu syura ketika pengangkatan khulafaurrasyidin. Kendati tidak ditemukan dalam ajaran islam, namun demokrasi satu sisi sesuai dan dapat sejalan dengan ajaran islam , di sisi lain juga dapat bertentangan dengan ajaran islam itu sendiri tergantung dengan penggunaan dan aplikasinya. Untuk menciptakan demokrasi yang sejalan dengan islam maka diperlukan kaidah – kaidah atau norma – norma yang mendukungnya, dalam hal ini bisa ditemukan dalam kitab suci alquran.

Kaidah demokrasi
Dalam bukunya, Identitas Politik Umat Islam (1987), Kuntowijoyo mencoba merinci kaidah-kaidah demokrasi yang dirujuknya dari kitab suci.
Pertama, ta'aruf (saling mengenal). Landasannya firman Allah surat Al-Hujurat (49) ayat 13 yang artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki – laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku – suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu”.
Inti dari ayat tersebut menurut kunto wijoyo adalah tentang dua persoalan yaitu:
(1) teosentrisme, yakni pada mulanya manusia itu satu; yang menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah Tuhan, dan yang mengukir kemuliaan adalah Tuhan, jadi ada lingkaran yang berawal dan berakhir pada Tuhan;
(2) Obyektivisme teosentrik, yakni manusia secara obyektif memang berbangsa dan bersuku-suku. Islam mengajarkan untuk berpikir dan berperilaku obyektif. Kaidah ta'aruf meniscayakan persamaan (equality), kemerdekaan (liberty), komunikasi dialogis, dan asumsi negara hukum.
Kedua, syura (musyawarah). Landasannya surat As-Syura (42) ayat 38. yang artinya : “Dan bagi orang – orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa musyawarah meniscayakan dialog dan tukar pikiran secara konstruktif, mempertimbangkan suara mayoritas tanpa melanggar hak Tuhan dan rasul-Nya. Misalnya, dalam homoseksualitas dan lesbianisme, bukan suara mayoritas yang menentukan, melainkan Tuhan. Inilah beda musyawarah dalam Islam dengan demokrasi sekuler.
Ketiga, ta'awun (kerja sama). Landasannya surat Al-Maidah (5) ayat 2. yang artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Dalam kerja sama, dua kepentingan harus dijunjung, yakni kepentingan Tuhan dan kepentingan manusia. Keduanya tidak untuk dipertentangkan satu sama lain. Dalam hal kepentingan manusia alquran membolehkan orang _ orang mukmin menjalin hubungan kerjasama dengan golongan lain yang berbeda aqidah, dengan syarat golongan tersebut tidak memusuhi mereka yang mukmin. Perbedaan aqidah tidak menjadi penghambat bagi orang – orang mukmin untuk tidak mengadakan hubungan baik, berbuat baik terhadap siapapun, memberi apa yang menjadi hak dan bagian mereka. Sebaliknya alquran melarang orang – orang mukmin mengadakan hal – hal tersebut dengan siapa saja yang menunjukkan permusuhan dan mempunyai rencana jahat terhadap mereka.
Keempat, mashlahah (menguntungkan masyarakat). Dalam Al-Quran sering dijumpai kata shalih yang berarti kebaikan pada umumnya, menguntungkan untuk masyarakat, bukan untuk elite penguasa atau mereka yang kaya.
Kelima, 'adl (adil). Landasannya surat An-Nisa (4) ayat 58 dan Al-An'am, yang artinya : apabila menetapkan hokum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Dansurat al an’am (6) ayat 152. yang artinya :dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu.
Adil, menurut pakar tafsir Prof Dr M. Quraish Shihab, mengandung empat makna: sama, seimbang, memperhatikan hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, dan adil yang dinisbahkan kepada Allah. Dihubungkan dengan demokrasi, ada dua macam keadilan, yakni distributive justice dan productive justice, yang masing-masing menjadi dasar demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi. Yang pertama, pelakunya negara dengan bentuk macam-macam jaminan, dan penerimanya adalah warga negara dengan kategori tertentu. Yang kedua, pelakunya perusahaan yang bentuknya pembagian pemilikan kekayaan perusahaan, dan penerimanya karyawan di perusahaan yang bersangkutan.
Adil yang dimaksudkan disini bukan hanya adil terhadap golongan mukmin saja, melainkan adil terhadap seluruh golongan manusia baik itu Yahudi maupun Nashrani. Alquran juga memerintahkan agar nabi dan umatnya memberikan keputusan yang adil kepada orang – orang Yahudi apabila mereka datang kepadanya untruk meminta keputusan.
Alquran memang menuntut agar keadilan itu terap ditegakkan sekalipun terhadap orang – orang yang mereka benci dan mereka musuhi, sebagaimana disebutkan dalam QS alMaidah (5) 8: “Dan janganlah sekali – kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum , mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”.
Keenam, taghyir (perubahan). Landasannya surat Ar-Ra'd (13) ayat 13. yang artinya : ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum , sehingga mereka mengubah keadaan pada diri mereka sendiri”.
Perubahan yang dimaksud harus setahap demi setahap. Manusia diciptakan secara bertahap, maka demokratisasi pun harus terencana, melalui tahapan (Kuntowijoyo, 1997: 91-104).



Penutup
Bagaimana mengimplementasikan kaidah-kaidah demokrasi itu, di sinilah persoalannya, karena membangun pemerintahan yang demokratis tidak cukup hanya dengan nilai-nilai normatif yang bersumber dari kitab suci. Juga tidak cukup hanya dengan klaim-klaim bahwa kitab suci sarat dengan ajaran demokrasi.
Nilai-nilai Islam, termasuk demokrasi yang terkandung di dalamnya, harus diimplementasikan dalam realitas obyektif. Meminjam istilah Kuntowijoyo, harus diobyektivikasi. Nilai-nilai itu harus diterjemahkan dalam kategori-kategori obyektif. Keyakinan internal harus dikonkretkan dalam kehidupan nyata yang bisa diterima semua kalangan sebagai sesuatu yang alami, tidak dibuat-buat, apalagi dipaksakan.
Menurut Kuntowijoyo, upaya obyektivikasi itu setidaknya harus menyentuh tiga dataran sekaligus, yakni struktural, kultural, dan mobilitas sosial. Landasannya adalah sabda Nabi Muhammad SAW: "Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah mengubah dengan lidahnya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan selemah-lemah iman."
Dalam konteks sekarang, tangan, lidah, dan hati masing-masing menunjuk ke struktur, kultur, dan mobilitas sosial. Mengubah dengan tangan berarti perubahan struktural dengan menonjolkan syariah melalui penataan undang-undang ke arah yang lebih demokratis. Mengubah dengan lidah berarti perubahan kultural dengan menonjolkan hikmah untuk menciptakan masyarakat etis. Dan mengubah dengan hati berarti mobilitas sosial dengan membentuk institusi-institusi sosial dengan program utama peningkatan sumber daya manusia.
Proses perubahan itu harus dicapai dengan cara-cara yang baik: bijaksana, adil, toleran, dan tidak revolusioner. Cara-cara seperti ini, menurut Kuntowijoyo, sejalan dengan cara-cara yang ditempuh Tuhan dalam proses penciptaan jagat raya ini, termasuk menciptakan manusia. Semuanya dijalankan secara perlahan tapi pasti.
Pada hakikatnya, tanpa harus terjebak pada klaim-klaim retorik, jika umat Islam sudah bisa menjalani kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan berbangsa secara harmonis, adil, dan toleran, insya Allah, kesangsian akan keselarasan Islam dengan nilai-nilai demokrasi akan tertepis dengan sendirinya. Sebab, wajah demokrasi Islam yang otentik sejatinya bukan terletak pada label institusi formal, tapi pada substansi dan implementasi.
Kuntowijoyo benar, prinsip-prinsip dasar yang ditawarkan Islam mengenai demokrasi harus diobyektivikasi. Ajakan itu semakin nyaring pada saat sebagian umat Islam di negeri ini sudah berhasil mengegolkan syariat Islam sebagai qanun yang harus ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di antara mereka ada yang begitu bersemangat, bukan sekadar memberlakukan syariat slam, tapi ingin membentuk khilafah Islamiyah. Jika keinginan ini terlaksana, bisa dibayangkan, perjuangan obyektivikasi Islam akan semakin berat. Selamat jalan, Kuntowijoyo. Semoga damai dan bahagia di sisi-Nya. Amin.

0 komentar: